1. Darah merupakan najis dan dia haram
Dalil kenajisan darah manusia adalah hadits al-Bukhari dan Muslim dari Asma’ ra., ia berkata:
«جَاءَتْ اِمْرَأَةٌ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم
فَقَالَتْ : إِحْدَانَا يُصِيْبُ ثَوْبَهَا مِنْ دَمِ الْحَيْضَةِ كَيْفَ
تَصْنَعُ بِهِ؟ قَالَ : تَحُتُّهُ ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ ثُمَّ
تَنْضَحُهُ ثُمَّ تُصَلِّي فِيْهِ»
Seorang wanita datang kepada Nabi saw dan berkata: “salah seorang dari kami pakaiannya terkena darah haidh, apa yang harus
ia perbuat?” Nabi saw bersabda: “ia kupas dan lepaskan darah itu lalu
ia kerok dengan ujung jari dan kuku sambil dibilas air kemudian ia cuci
kemudian ia shalat dengannya
Bahwa wanita itu diperintahkan untuk mencucinya sebelum ia shalat dengannya adalah dalil kenajisan darah.
Adapun dalil keharamannya, memakan dan meminumnya … adalah firman Allah SWT:
«حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ…»
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, … (QS al-Maidah [5]: 3)
Dan firman Allah SWT:
«قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ
مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ
دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا
أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ
فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ…»
Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi –karena sesungguhnya semua itu kotor– atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam
keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (QS al-An’am [6]: 145)
2. Pemanfaatan najis dan sesuatu yang haram adalah haram. Diantara dalilnya adalah:
- Imam al-Bukhari mengeluarkan hadits dari Jabir bin
Abdullah ra., bahwa ia mendengar Rasulullah saw pada hari Fath Mekah
pada saat di Mekah Beliau bersabda :
«إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ
الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيرِ وَالْأَصْنَامِ فَقِيلَ يَا
رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ شُحُومَ الْمَيْتَةِ فَإِنَّهَا يُطْلَى بِهَا
السُّفُنُ وَيُدْهَنُ بِهَا الْجُلُودُ وَيَسْتَصْبِحُ بِهَا النَّاسُ
فَقَالَ لَا هُوَ حَرَامٌ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ ذَلِكَ قَاتَلَ اللَّهُ الْيَهُودَ إِنَّ
اللَّهَ لَمَّا حَرَّمَ شُحُومَهَا جَمَلُوهُ ثُمَّ بَاعُوهُ فَأَكَلُوا
ثَمَنَهُ»
Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan menjual khamr,
bangkai, babi dan berhala. Lalu dikatakan: ya Rasulullah bagaimana
pendapatmu dengan lemak bangkai, itu bisa untuk memvernish kapal,
melumasi kulit dan dipakai orang untuk penerangan”. Maka Rasul saw
bersabda: “tidak, lemak bangkai itu haram” kemudian pada saat demikian
Rasulullah saw bersabda: “celakalah Yahudi, ketika Allah mengharamkan
lemak hewan lalu mereka jadikan samin kemudian mereka jual dan mereka
makan harganya
- Di dalam Tahdzîb al-Atsar karya ath-Thabari dari Jabir, ia berkata: Rasulullah saw bersabda:
«لاَ تَنْتَفِعُوا مِنَ الميْتَةِ بِشَيْءٍ»
Jangan kalian memanfaatkan dari bangkai denagn sesuatu pun
- Dikecualikan kulit bangkai sebagaimana yang ada
di hadits Abu Dawud dari Ibn Abbas. Musaddad dan Wahab berkata dari
Maimunah, ia berkata: “untuk mawla perempuan kami dihadiahkan sekor
domba dari domba shadaqah lalu domba itu mati. Lalu Nabi saw melaluinya
dan Beliau bersabda:
«أَلَا دَبَغْتُمْ إِهَابَهَا وَاسْتَنْفَعْتُمْ
بِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهَا مَيْتَةٌ قَالَ إِنَّمَا
حُرِّمَ أَكْلُهَا»
“tidakkah kalian samak kulitnya lalu kalian manfaatkan?”
Mereka berkata: “ya Rasulullah ini bangkai”. Rasulullah saw bersabda:
“melainkan yang diharamkan adalah memakannya”.
- Imam al-Bukhari mengeluarkan hadits dari Jabir bin
Abdullah ra., bahwa ia mendengar Rasulullah saw pada hari Fath Mekah
pada saat Beliau di Mekah, Beliau bersabda:
«إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ»
Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli khamr
- Imam al-Bukhari juga mengeluarkan dari Anas ra.: “aku orang yang menuangkan
minuman sekelompok orang di rumah Abu Thalhah, pada waktu itu
(kebiasaan minum) khamr mereka sangat jelas. Lalu Rasulullah saw
memerintahkan penyeru untuk menyerukan
«أَلَا إِنَّ الْخَمْرَ قَدْ حُرِّمَتْ»
Ketahuilah, sesungguhnya khamr telah diharamkan
Anas berkata: “maka Abu Thalhah berkata kepadaku: “keluarlah dan
tumpahkan khamr itu”. Anas berkata: “maka aku keluar dan aku tumpahkan
sehingga khamr mengaliri parit-parit Madinah”
- Abu Dawud mengeluarkan hadits dari Abu Hurairah ra., bahwa Rasulullah saw bersabda:
«إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ الْخَمْرَ وَثَمَنَهَا وَحَرَّمَ الْمَيْتَةَ وَثَمَنَهَا وَحَرَّمَ الْخِنْزِيرَ وَثَمَنَهُ»
Sesungguhnya Allah mengharamkan khamr dan harganya, mengharamkan bangkai dan harganya dan mengharamkan babi dan harganya
3. Dari keharaman itu dikecualikan berobat. Berobat dengan sesuatu yang haram dan najis adalah tidak haram:
- Adapun berobat dengan sesuatu yang haram adalah tidak haram maka itu berdasarkan hadits dari Anas:
«رَخَّصَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَوْ رُخِّصَ لِلزُّبَيْرِ بْنِ الْعَوَّامِ وَعَبْدِ
الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ فِي لُبْسِ الْحَرِيرِ لِحِكَّةٍ كَانَتْ
بِهِمَا»
Rasulullah saw memberi keringanan atau diberikan keringanan
(diberi rukhshah) kepada Zubair bin al-‘Awam dan Abdurrahman bin ‘Awf
untuk memakai sutera karena penyakit kulit keduanya
Memakai sutera bagi laki-laki adalah haram. Akan tetapi hal itu
diperbolehkan dalam hal berobat. Demikian pula hadits an-Nasai, Abu
Dawud dan at-Tirmidzi, dan lafazh an-Nasai: telah menceritakan kepada
kami Abdurrahman Thurafah dari kakeknya ‘Arfajah bin As’ad bahwa ia pada
hari al-Kulab semasa masih jahiliyah, hidungnya terluka (koyak) lalu
ia menggunakan hidung dari perak sehingga menimbulkan bau tidak sedap.
«فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَتَّخِذَ أَنْفًا مِنْ ذَهَبٍ»
Maka Nabi saw menyuruhnya memakai hidung dari emas
Emas bagi laki-laki adalah haram. Akan tetapi itu diperbolehkan dalam hal berobat.
- Sedangkan berobat dengan najis adalah bukan haram, maka itu berdasarkan hadits riwayat imam al-Bukhari dari Anas ra.:
«أَنَّ نَاسًا اجْتَوَوْا فِي الْمَدِينَةِ
فَأَمَرَهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ
يَلْحَقُوا بِرَاعِيهِ يَعْنِي الْإِبِلَ فَيَشْرَبُوا مِنْ أَلْبَانِهَا
وَأَبْوَالِهَا فَلَحِقُوا بِرَاعِيهِ فَشَرِبُوا مِنْ أَلْبَانِهَا
وَأَبْوَالِهَا…»
Ada orang-orang yang ijtawaw
di Madinah lalu Nabi saw menyuruh mereka untuk menyusul penggembala
Beliau yaitu (penggembala) unta sehingga mereka bisa meminum susunya
dan air kencing unta itu, maka mereka menyusul penggembala itu dan
mereka meminum susu dan air kencing unta itu…
Ijtawaw artinya makanannya tidak cocok dengan mereka
sehingga mereka sakit. Rasul saw memperbolehkan “air kencing” untuk
mereka dalam hal berobat padahal “air kencing” itu adalah najis. Imam
al-Bukhari mengeluarkan riwayat dari Abu Hurairah ra., ia berkata:
«قَامَ أَعْرَابِىٌّ فَبَالَ فِى الْمَسْجِدِ فَتَنَاوَلَهُ النَّاسُ، فَقَالَ لَهُمُ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم
«دَعُوهُ وَهَرِيقُوا عَلَى بَوْلِهِ سَجْلاً مِنْ مَاءٍ، أَوْ ذَنُوبًا
مِنْ مَاءٍ، فَإِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِينَ، وَلَمْ تُبْعَثُوا
مُعَسِّرِينَ»
Seorang arab baduwi kencing di Masjid lalu orang-orang akan
menindaknya. Maka Nabi saw bersabda: “biarkan dia dan siram bekas
kencingnya dengan satu timba penuh air, melainkan kalian diutus sebagai
orang-orang yang memberi kemudahan dan kalian tidak diutus sebagai orang-orang yang menimbulkan kesulitan
4. Hukum asal sesuatu adalah mubah selama tidak datang dalil yang mengharamkannya. Dantara dalilnya adalah:
Firman Allah SWT:
أَلَمْ تَرَوا أنَّ اللهَ سخَّرَ لَكُمْ مَا في السَّمواتِ ومَا في الأرْضِ
Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan) mu apa yang di langit dan apa yang di bumi (QS Luqman [31]: 20)
«أَلَمْ ترَ أَنَّ اللهَ سخَّرَ لكُمْ مَا في الأرض»
Apakah kamu tiada melihat bahwasanya Allah menundukkan bagimu apa yang ada di bumi (QS al-Hajj [22]: 65)
«وسخّر لكم ما في السموات وما في الأرض جميعاً منه»
Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya (QS al-Jatsiyah [45]: 13)
Dari nas-nas ini jelas bahwa asy-Syâri’ memperbolehkan
segala sesuatu, seluruhnya, dengan makna menghalalkannya. Kebolehan
sesuatu maknanya adalah halal, yakni lawan dari haram. Dengan demikian
pengharaman sebagian dari sesuatu itu memerlukan nas yang mengecualikannya dari apa yang pada asalnya diperbolehkan. Begitulah jadi hukum asal sesuatu adalah boleh selama tidak ada dalil yang mengharamkannya.
Dan itu berbeda dengan perbuatan. Karena hukum asal perbuatan
adalah terikat dengan hukum syara’ baik taklifi maupun wadh’i “fardhu,
mandub … sebab, syarat…” seperti yang telah diketahui di pembahasan ushul fiqh.
♦ Jawaban atas dua pertanyaan di atas adalah sebagai berikut:
Pertama, jika pengujian darah yang terkontaminasi adalah pengujian pengobatan untuk mengetahui penyakit dan obatnya yang sesuai
dan semacam itu maka boleh. Jika pengujian darah terkontaminasi itu
tidak ada hubungannya dengan pembuatan obat untuk mengobati penyakit dan
semacamnya maka tidak boleh.
Hal itu karena darah adalah najis dan haram. Pemanfaatan najis dan sesuatu yang haram adalah haram, kecuali untuk pengobatan.
Kedua, jika pemisahan virus dari darah adalah untuk
melakukan percobaan dan penelitian pengobatan maka boleh. Artinya jika
penempatan darah terkontaminasi pada perlakuan percobaan untuk
memisahkan virus dari darah adalah dalam rangka melakukan percobaan
terhadap virus untuk kepentingan pengobatan untuk mengetahui obat yang sesuai, maka boleh.
Sedangkan jika pemisahan virus dari darah untuk melakukan percobaan yang bukan
bersifat pengobatan maka tidak boleh. Sebab darah terkontaminasi
tersebut adalah najis dan haram. Dan pemanfaatannya adalah tidak boleh.
Ketiga, virus adalah suci karena virus itu adalah benda dan tidak ada dalil yang mengharamkannya. Jadi virus itu suci sesuai dengan kaedah syara’ yang telah
disebutkan. Atas dasar itu maka jika ada virus saja artinya tidak
terkontaminasi dengan darah, maka boleh memperjualbelikannya dan
melakukan penelitian ilmiah terhadapnya. Tentu saja penelitian ilmiah
itu wajib untuk manfaat manusia dan bukannya untuk menimpakan dharar
kepada manusia. Sebab Rasul saw bersabda:
«لا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ»
Tidak boleh mencelakakan diri sendiri dan orang lain
Tidak ada komentar:
Posting Komentar